MY BLOG FOLLOWER

Thursday, July 17, 2008

JAWAPAN KEPADA TUDUHAN HT JEMAAH AT TASHWIH DR AL BAKISTANI

ASSALAMUALAIKUM...ANA sebagai insan yang lemah.

INGINKAN PENJELASAN DARI ANTA sama ada artikel ini merupakan sebuah fitnah atau tuduhan songsang atau sebuah kenyataan yang pasti.
kerana firman ALLAH ini terngiang2 ditelinga ana.:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)."

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya."

adapun ayat2 di atas bukanlah di tujukan kepada pihak ANTA.ana cuma ingin menyatakan disini adanya ayat2 mengecam berkenaan bahyanya berperasangka buruk n menghalang sebuah kebenaran.

k ana disini ingin mengenalkan diri ana sebagai seorang yang cintakan islam 100%n sebagai seorang yang menginginkan n merindui kembalinya kehidupan islam di muka bumi ALLAH ini yang mana telah lama ketandusancahaya "islam is the way of life"ana bukanlah lagi seorang anggota HIZBUT TAHRIR.ana disini ingin menyatakan bahawa ana hanyalah seorang pelajar dari sebuah institusi atau badan yang ana rasa bertangungjawb dalam isti'naf hayat al islamiyah.institusi yang ingin mengembalikan kehidupan islam yang kaffah.n merupakan seorang penyokong kuat PARTI PEMBEBASAN.sebelum itu ana berharap segala perbincangan antara kite mestilah didasari dengan AL QURAN N SUNNAH SEBAGAI YANG PALING UTAMA.ALLAH N RASUL DI LETAKKAN DIHADAPAN.SYURGA N NERaKA DILETAKKAN DI KIRI N KANAN SEBAGAI SEBUAH KEBAHAGIAAN N KEAZABAN.JAUHKAN EMOSI KERAANA EMOSI AKAN MEMBAWA KITE TERUS HANYUT DARI KEBENARAN.
k pertama2 ana ingin menjawab beberapa persoalan anta.

" Di Malaysia, Tidak diketahui siapakah mereka yang sebenarnya. Begitujuga, tidak diketahui siapa pula dibelakang mereka yang menyebabkan mereka mempunyai kewangan yang begitu kuat sehingga dapat mengeluarkan risalah bulanan pada setiap keluaran." di dalam blog anta mengajukan persoalan ini.persoaln berkenaan mal ni ana rasa anta x perlulah khuatir atau berburuk sangka.sejajar dengan perjuangannya yang membawa islam 100% adalah mustahil untuk mereka memperoleh mal dari sumber yang haram.kerana bagi mereka yang memperjuangkan islam yang ingin mengembalikan kedaulatan islam kepada pundaknya mestilah n wajiblah untuk menyosori segala sesuatu itu bersandarkan dengan hukum syara'.ana ambil contoh dari pas sendiriyang mengambil sumbangan dari para ahli nya.sumbangan dari jentera pilihanraya.sumbangan dari non muslim pula dari kelab penyokong pas.n sumbangan dari bukan ahli juga diterima.so samalah seperti ht.bahwa mal yang diperoleh adalah halal n mengikot kaedah syara'.iaitu menifakkan harta kejalan ALLAH.

APA ITU INFAK???Kata infak adalah kata serapan dari bahasa Arab: al-infâq. Kata al-infâq adalah mashdar (gerund) dari kata anfaqa–yunfiqu–infâq[an]. Kata anfaqa sendiri merupakan kata bentukan; asalnya nafaqa–yanfuqu–nafâq[an] yang artinya: nafada (habis), faniya (hilang/lenyap), naqasha (berkurang), qalla (sedikit), dzahaba (pergi), kharaja (keluar).Karena itu, kata al-infâq secara bahasa bisa berarti infâd (menghabiskan), ifnâ’ (pelenyapan/pemunahan), taqlîl (pengurangan), idzhâb (menyingkirkan) atau ikhrâj (pengeluaran).1 Kata al-infâq pada galibnya digunakan untuk harta, meski menurut ar-Raghib bisa digunakan untuk harta maupun yang lain. Jika dikatakan anfaqa mâlahu (ia menginfakkan hartanya) artinya afnâhu wa anfadahu (ia menghabiskan dan melenyapkan hartanya).Harta itu habis karena ia keluarkan untuk keperluannya.An-Nawawi berkata, 2“An-Nafaqah berasal dari al-infâq yang artinya adalah ikhrâj (pengeluaran).” Al-Qurthubi dan ar-Razi mengatakan,3“Al-Infâq adalah ikhrâj al-mâl min al-yadd (pengeluaran harta dari tangan/kepemilikan).Karena hartanya habis dan lenyap maka seseorang itu bisa menjadi miskin. Jika dikatakan, “Anfaqa ar-rajulu,” artinya, “Iftaqara wa dzahaba mâluhu” (Ia menjadi miskin dan hartanya habis/hilang).4
Para ulama mengartikan al-infâq berputar pada pembelanjaan atau pengeluaran harta. Di dalam al-Qâmûs al-Fiqhî, misalnya, al-infâq diartikan sebagai badzlu al-mâl (pembelanjaan harta).5Dalam Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, selain diartikan badzlu al-mâl, al-infâq juga diartikan sebagai pembelanjaan harta dalam hal kebutuhan-kebutuhan pokok atau yang lain, termasuk di antaranya infak (nafkah) seorang suami kepada istrinya.6Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, “Ketahuilah bahwa al-infâq adalah pembelanjaan harta untuk berbagai aspek kepentingan.”
Al-Minawi, mengutip Ibn al-Kamal, menyatakan bahwa al-infâq adalah pembelanjaan harta dalam suatu kebutuhan.7Al-Jurjani juga mendefinisikan al-infâq sebagai pembelanjaan harta untuk suatu kebutuhan.8Jadi al-infâq adalah pembelanjaan atau pengeluaran khususnya harta.Pembelanjaan itu tidak lain adalah pengeluaran harta dari kepemilikan kita.
Al-Quran menyebutkan kata anfaqa dan bentukannya sebanyak 72 kali.Semuanya menggunakan makna bahasa di atas. Yang dominan adalah makna pembelanjaan harta.Dari semua itu kata al-infâq hanya dinyatakan satu kali.Allah Swt. berfirman:

قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا
Katakanlah, “Seandainya kalian menguasai berbagai perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kalian tahan, karena takut al-infâq.” Manusia itu sangat kikir. (QS al-Isra’ [17]: 100).

Ibn Abbas menafsirkan kata al-infâq dalam ayat tersebut dengan al-faqru (kemiskinan). Qatadah menafsirkannya al-fâqah (kemelaratan/ketiadaan).Mayoritas mufassir memilih kedua penafsiran tersebut.Adapun menurut al-Baydhawi dan an-Nasafi, khasyyah al-infâq maknanya takut akan lenyap (al-fanâ’) atau habis (an-nafâd) karena di-infâq-kan(dibelanjakan).9
Al-Quran menggunakan kata infâq dalam arti pembelanjaan atau pengeluaran harta secara mutlak, tanpa sifat tertentu, baik pembelanjaan sesuai dengan ketentuan Allah maupun yang disertai riya’ (QS al-Baqarah [2]: 264; an-Nisa’ [4]: 38); bahkan pembelanjaan untuk menghalangi orang dari jalan Allah (QS. al-Anfâl [8]: 36). Semuanya diungkapkan dengan lafazh infâq. Al-Quran tidak pernah menyatakan kata infâq secara berdiri sendiri.Sebaliknya, al-Quran selalu mengaitkan kata infâq dengan indikasi-indikasi (qarînah) yang menjelaskan maknanya. Hal itu mengindikasikan bahwa kata infâq tidak memiliki makna syar‘i.

Panduan Menginfakkan Harta
Syariah telah memberikan panduan kepada kita dalam berinfak atau membelanjakan harta.Allah dalam banyak ayat dan Rasul saw. dalam banyak hadis telah memerintahkan kita agar menginfakkan (membelanjakan) harta yang kita miliki.Allah juga memerintahkan agar seseorang membelanjakan harta untuk dirinya sendiri (QS at-Taghabun: 16) serta untuk menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya (QS ath-Thalaq: 7).Dalam membelanjakan harta itu hendaklah yang dibelanjakan adalah harta yang baik, bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan zakat (QS al-Baqarah [2]: 267).Bahkan Allah Swt. berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Apa saja yang kalian nafkahkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran [3]: 92).

Kemudian Allah menjelaskan bagaimana tatacara membelanjakan harta.Allah Swt. berfirman tentang karakter ’Ibâdurrahmân:

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak isrâf dan tidak (pula) iqtâr (kikir);adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS al-Furqan [25]: 67).

Allah Swt. juga berfirman:

وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat haknya, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (QS al-Isra’ [17]: 26).

Ibn Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibn al-Juraij dan kebanyakan mufassir menafsirkan isrâf (foya-foya) sebagi tindakan membelanjakan harta di dalam kemaksiatan meski hanya sedikit. Isrâf itu disamakan dengan tabdzîr (boros).Menurut Ibn Abbas, Ibn Mas‘ud dan jumhur mafassirin, tabdzîr adalah menginfakkan harta tidak pada tempatnya.Ibn al-Jauzi dalam Zâd al-Masîr mengatakan, Mujahid berkata, “Andai seseorang menginfakkan seluruh hartanya di dalam kebenaran, ia tidak berlaku tabdzîr. Sebaliknya, andai ia menginfakkan satu mud saja di luar kebenaran, maka ia telah berlaku tabdzîr.”

Adapun iqtâr maknanya adalah menahan diri dari infak yang diwajibkan atau menahan diri dari infak yang seharusnya. Asy-Syaukani, mengutip ungkapan an-Nihâs, menyatakan, “Siapa saja yang membelanjakan harta di luar ketaatan kepada Allah maka itu adalah isrâf; siapa yang menahan dari infak di dalam ketaatan kepada Allah maka itu adalah iqtâr (kikir); dan siapa saja yang membelanjakan harta di dalam ketaatan kepada Allah maka itulah infak yang al-qawâm.”10

Jadi, yang dilarang adalah isrâf dan tabdzîr,yaitu infak dalam kemaksiatan atau infak yang haram. Infak yang diperintahkan adalah infak yang qawâm, yaitu infak pada tempatnya; infak yang sesuai dengan ketentuan syariah dalam rangka ketaatan kepada Allah; alias infak yang halal.Infak yang demikian terdiri dari infak wajib, infak sunnah dan infak mubah.Infak wajib dapat dibagi:11Pertama, infak atas diri sendiri, keluarga dan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungan. Kedua, zakat. Ketiga, infak di dalam jihad.Infak sunnah merupakan infak dalam rangka hubungan kekerabatan, membantu teman, memberi makan orang yang lapar, dan semua bentuk sedekah lainnya.Sedekah adalah semua bentuk infak dalam rangka atau dengan niat ber-taqarrub kepada Allah, yakni semata-mata mengharap pahala dari Allah Swt.Adapun infak mubah adalah semua infak halal yang di dalamnya tidak terdapat maksud mendekatkan diri kepada Allah.

Islam memerintahkan kita agar menginfakkan harta sekaligus menjelaskan tatacaranya. Tentu infak fardhu wajib dilaksanakan. Infak sunnah hendaknya diperhatikan dan diupayakan sesuai kemampuan. Adapun infak mubah sebaiknya tidak diperbanyak, tetapi dilakukan sebatas keperluan saja, dan ditujukan pada yang lebih banyak manfaat daripada madaratnya, sebagai bentuk kewaraan.

ISLAM TELAH MENGATUR CARANYA N ANA MEWAKILI HT MENYATAKANNYA BENAR DENGAN INFAKLAH SUMBER KEWANGAN KAMI.
KEDUANYA PERSOALAN BERKENAAN DENGAN BAHAYA MENIMBULKAN JEMAAH BARU.

DALAM KONTEKS persoalan INI ana ingin menjawab dalam beberapa perspektif.
pertamanya ana ingin memberitahu n meninformkan penghalang2 kebangkitan umat islam.:
1. berlainan thariqah perjuangan (methode):Harus dipahami bahwa metode perjuangan adalah bagian dari hukum syariah. Metode itu harus digali dari nash syariah, yakni dengan mencontoh metode Rasul saw. Karenanya, kebenaran metode itu semata-mata dinilai dari kebenaran istinbâth-nya dan kesesuaiannya dengan metode Rasul saw. Jika ini terpenuhi, tidak ada alasan untuk meragukannya.2. keputusasaan: dalam hal ini, harus dipahami bahwa kita tidak bertanggung jawab atas hasil. Yang dipertanggungjawabkan di sisi Allah adalah perjuangan itu, apakah sudah dilakukan sebaik mungkin dengan mengacu pada metode Rasul saw atau tidak. Umat harus senantiasa ingat, bahwa Allah melarang berputus asa dari rahmat-Nya. Sikap itu hanyalah sikap kaum kafir (QS 12: 87) atau orang yang sesat (QS 15: 55-56). Di sisi lain, Allah memerintahkan agar kita tetap mengharapkan rahmat Allah (QS 7: 56; 17: 57). Allah pun telah berjanji akan memberikan pertolongan kepada hambanya. Hendaknya ayat-ayat al-Quran dan hadis yang menjelaskan masalah ini senantiasa di-tadabbur-i untuk semakin menjauhkan keputusasaan dan sebaliknya semakin mengentalkan harapan serta optimisme dalam perjuangan.
3. kompromi.
yang dimaksudkan dengan kompromi adalah menerima tawaran atau mengambil jalan yang diangankan atau diduga bisa lebih cepat membuahkan hasil. Sikap ini sering justru mengalihkan perjuangan dari garis yang seharusnya dan dari tuntunan ideologi Islam, juga bisa menjerumuskan ke dalam perangkap sistem yang tidak islami dan strategi musuh, bahkan bisa lebih menonjolkan adanya perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat. Banyak fakta yang menunjukkan hal itu. Untuk itu, umat, khususnya para aktivis dakwah, harus semakin mengentalkan kesadaran ideologi Islamnya. Pelajaran dari Rasulullah saw. yang menolak tawaran tahta, harta dan wanita yang diajukan Walid bin Mughirah, utusan Quraisy, cukuplah menjadi pegangan.
4. sikap ego
Halangan berikutnya adalah sikap ingin menang sendiri, menganggap pendapat sendiri paling benar dan yang lain salah, fanatic mazhab, serta tidak proporsional menyikapi perbedaan. Dalam hal ini, penting dipahami bahwa selama perbedaan itu secara syar’i memang diperbolehkan, yaitu perbedaan dalam masalah furû’, maka tidak boleh dikembangkan sikap menghujat, menyesatkan atau bahkan mengkafirkan dan memusuhi pihak lain yang pendapatnya berbeda. Sikap yang harus dikembangkan mestinya seperti sikap para Sahabat dan ulama terdahulu yang tidak menjadikan perbedaaan itu sebagai perpecahan, perselisihan dan pertikaian dengan mereka yang memiliki pendapat berbeda. Sikap yang dikedepankan hendaknya seperti sikap para imam mazhab, “Pendapatku benar, tetapi mungkin saja keliru. Pendapat yang lain keliru, tetapi mungkin saja benar.”
5. qawmiyah assobiyyah:
Halangan lainnya adalah sikap berpegang pada qawmiyah, nasionalisme, patriotisme dan sikap ’ashabiyah lainnya. Sikap inilah yang telah menyebabkan terpecahnya kaum Muslim dalam lebih dari 50 negara kecil dan lemah. Hendaknya diingat sabda Rasul saw.:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عَصَبِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِاْلآبَاءِ، إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ أَوْ فَاجِرٌ شَقِيٌّ، النَّاسُ بَنُوْ آدَمَ، وَآدَمَ مِنْ تُرَابٍ، وَلاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari diri kalian ‘ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan Jahiliyah karena keturunan. Seseorang hanyalah seorang Mukmin yang bertakwa atau seorang pendosa yang celaka. Manusia itu anak cucu Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab kecuali karena ketakwaannya. (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Bahkan orang yang menyerukan ‘ashabiyah dinilai bukan bagian dari umat Muhammad saw.1dan termasuk debu Jahanam meski ia menunaikan shalat dan puasa.2Orang yang berperang membela ‘ashabiyah, jika mati. Ia mati Jahiliyah.

nah 5 perkara di atas merupakan beberapa penghalang kebangkitan umat islamn kite yakin di MALAYSIA negara kite kinimempunyai berbagai2 qutlah atau jemaah terbentuk untuk memastikan islam bangkit kembalin ini membenarkan AYAT ALLAH:

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ، فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ، فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حِينٍ
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (QS al-Mukminun [23]: 52-54)

Tafsir Ayat Allah Swt. berfirman: Wa inna hâdzihi ummatukum ummat[an] wâhidat[an]. Menurut al-Asfahani, ummah adalah setiap jamaahyang dipersatukan oleh suatu perkara, baik perkara itu berupa agama, zaman, atau tempat yang sama; yang bersifat paksaan atau pilihan.1Namun, kata ummah juga sering digunakan untuk menunjukkan perkara yang menjadi aspek pemersatunya (Lihat, misalnya, QS az-Zukhruf [43]: 22).

Kata ummah dalam ayat tersebut bermakna ad-dîn.
An-Nasafi, asy-Syaukani, Ibnu ‘Athiyah, al-Baidhawi, al-Qasimi, dan banyak mufassir lainnya menafsirkan kata ummah dalam ayat ini dengan millah atau syarî‘ah.
2Al-Qurthubi dan Ibnu Juzyi juga memaknainya ad-dîn.3
Lalu dhamîr mukhâthab jama‘ (kum) terkait dengan seruan dalam ayat sebelumnya: Yâ ayyuhâ ar-rusul, kulû min ath-thayyibât (Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik). Dengan demikian, ayat ini memberitahukan kepada para rasul—dan seluruh umatnya—bahwa ummah atau millah mereka itu adalah millah wâhidah (agama yang satu).4

Jika dikaitkan denganbeberapa ayat sebelumnya, penafsiran tersebut amat relevan. Dalam ayat sebelumnya, diberitakan mengenai diutusnya para rasul yang berturutan (ayat 44), kisah Nabi Musa as (ayat 45-49), dan Nabi Isa as (ayat 50). Semua rasul itu diperintahkan Allah Swt. dengan perintah yang sama, yakni diwajibkan untuk makan dengan makanan yang thayyib (halal) dan beramal salih (QS al-Mukminun [23]: 51). Kesamaan perintah itu menunjukkan bahwa millah atau dîn mereka adalah satu. Agama para rasul itu memerintahkan manusia untuk beribadah kepada Allah Swt dan tunduk pada syariah-Nya, sekalipun dalam rincian syariahnya bisa berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Menurut ar-Razi, perbedaan rincian syariah itu tidak bisa disebut sebagai ikhtilâf fî ad-dîn (perbedaan dalam agama). Walaupun dalam taklif hukumnya ada yang berbeda, agama para rasul tetap satu. Allah Swt. menegaskannya dalam QSasy-Syura [42]: 13.

Allah Swt. lalu berfirman: Wa Anâ Rabbukum fattaqûn (dan Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu, bertakwalah kalian kepada-Ku). Ditegaskan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh manusia. mereka wajib menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Penegasan itu menunjukkan, akidah agama semua rasul itu sama. Ar-Razimenyatakan, kalimat wa Anâ Rabbukum fattaqûn menunjukkan bahwa agama semua rasul itu adalah satu, yakni dalam perkara yang berkaitan dengan ma‘rifatullâh dan takut bermaksiat kepada-Nya.5
Pada awalnya agama para rasul itu memang satu sehingga mereka merupakan satu umat. Namun, pada masa sesudahnya mereka menjadi umat yang berpecah-belah. Perpecahan itu disebabkan oleh Olah sbagian orang yang sgaja merusak agamanya. RealitI ini dijelaskan dalam ayat sesudahnya: fataqaththa‘û amrahum baynahum zubur[an] (kemudian mereka terpecah-belah dalam urusannya menjadi beberapagolongan).

Kata taqaththa‘û artinya tafarraqû (berpecah belah).6Kata tersebut mengandung makna mubâlaghah untuk menunjukkan parahnya perbezaan mereka.7Dhamîr wâwu al-jamâ‘ah (mereka) dalam kata taqaththa’û merujuk kepada umat-umat para rasul.8Adapun kata amrahum dalam frasa ini bermakna dînahum (agama mereka) atau segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.9Dengan demikian, frasa ini memberikan pengertian, agama Allah Swt. adalah satu, kemudian mereka membuatnya menjadi banyak agama yang berbeza-beza.10Realiti ini juga diungkap dalam QS al-Anbiya’ [21]: 92-93.

Sementara itu, kata zubur[an], menurutQatadah, ath-Thabari, an-Nasafi, dan Mahmud Hijazi bermakna kutub (kitab-kitab) yang dibuat dan disusun.11Artinya, mereka berpecah-belah dalam berbagai agama. Masing-masing kelompok menyusun kitabnya sendiri-sendiri, berpegang teguh padanya, dan ingkar terhadap kitab-kitab selainnya.12

Menurut al-Alusi, al-Baidhawi, al-Wahidi, al-Khazin, dan asy-Syaukani, kata zubur[an] merupakan bentuk jamak dari kata zabûr yang berarti qith‘ah atau firqah (kelompok, golongan).13Karena itu, zubur bermakna firaq (kelompok-kelompok). Artinya, para pengikut rasul yang sebelumnya memeluk agama yang sama itu kemudian berpecah-belah menjadi banyak firqah, kelompok, atau hizb. Masing-masing kelompok dan golongan itu memiliki karakter yang sama, yakni: Kullu hizb[in] bimâ ladayhim farihûn (Setiap golongan [merasa] bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing).

Secara bahasa, kata al-hizb berarti jamâ‘ah min an-nâs (kelompok dari manusia).14Frasa bermakna bimâ ladyhim adalah dîn mereka; juga kitab, hawa nafsu, atau pendapat mereka.15Kata farihûn berarti masrûrûn, mu‘jibûn, râdhûn (senang, kagum dan ridha).16Maknanya, masing-masing kelompok dan golongan itu merasa bangga dengan agama mereka yang sesat. Mereka tidak merasa berada dalam kesesatan. Bahkan sebaliknya, mereka merasa berada di atas kebenaran (‘alâ al-haqq).

Jika mereka masih ego dengan sikapnya sekalipun sudah mendapatkan petunjuk dan penjelasan yang benar, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bersikap tegas terhadap mereka: fadzarhum fî ghamratihim hattâ hîn (Karena itu,biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai waktu yang ditentukan). Khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Beliau diperintahkan untuk membiarkan orang-orang yang memecah-belah agama Allah Swt. dalam kebodohan dan kesesatan. Pada asalnya, kata ghamrah berarti as-sitr(tutup). Kata tersebut juga digunakan untuk menunjukkan al-jahl wa adh-dhalâl (kebodohan dan kesesatan).17
Yang dimaksud dengan kata hattâ hîn (sampai waktu yang ditentukan) adalah waktu yang telah ditentukan Allah Swt., yang sama sekali tidak bisa mereka elakkan. Menurut para mufassir, ungkapan tersebut berarti waktu mereka terbunuh, mati, atau turunnya azab.18

Tidak Semua Hizb Terlarang
Potongan ayat ini: Kullu hizb[in] bimâ ladayhim farihûn (QS al-Maidah [5]: 53) dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk mengharamkan keberadaan semua hizb. Alasannya, semuahizb memiliki karakter yang sama, yakni berbangga terhadap pemikiran atau pendapat yang mereka miliki. Kebanggan dan kekaguman itu merupakan mercu munculnya sikap assoabiyyah kelompok, yang pada gilirannya dapat merosak persatuan Islam. Aneka pertikaian antara kelompok dari sikap tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka, keberadaan semua hizb itu terlarang, sekalipun hizb itu memperjuangkan Islam.

Penggunaan ayat ini untuk mengharamkan keberadaan hizb atau qutlah jelas tidak tepat. Setidaknya ada tiga alasan yang menunjukkan kesalahan pendapat tersebut. Pertama: Dari segi bentuk kalimat, frasa tersebut berbentuk berita. Kandungan maknanya juga tidak menunjukkan sebuah larangan. Sebab, kata farihûn tidak spesifik menunjukkan sebuah celaan.
Secara bahasa, kata al-farh berarti naqîdh al-huzn (lawan dari sedih).19Menurut para mufassir, sebagaimana telah terpapar, kata tersebut bermakna masrûrûn (senang), mu‘jibûn (kagum, bangga),atau râdhûn (ridha). Semua pengertian itu juga menunjukkan makna dalam keadaan senang. Sikap farah bisa menjadi terpuji atau tercela, bergantung pada perkara yang menjadi penyebabnya. Jika perkaranya memang layak membuat mereka senang, bangga, dan gembira, maka bersikap demikian bukan sesuatu yang tercela, bahkan diperintahkan. Allah Swt., misalnya, berfirman: Qul bi fadhlillâh wa birahmatih fabidzâlika falyafrahû (Katakanlah, “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.”) (QS Yunus [10]: 52).
Sebaliknya, jika perkaranya memang tidak layak untuk dibanggakan dan disambut gembira; atau cara melampiaskannya melampaui batas syariah, maka farah menjadi sikap yang tercela; sebagaimana dalam firman-Nya: Walâ tafrahû bimâ âtâkum wallâh lâ yuhibbû kulla mukhtâl fakhûr (Jangan terlalu bergembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri) (QS al-Hadid [57]: 23).
Oleh karena itu, jika dalam ayat ini semua hizb yang diceritakan tampak tercela, hal itu bukan disebabkan oleh sikap farihûn-nya, namun karena perkara yang menyebabkan mereka farihûn. Perkara yang mereka kagumi dan banggakan adalah agama mereka yang sesat; sesuatu yang sama sekali tidak layak untuk dikagumi dan dibanggakan.
Realiti tersebut dengan jelas dapat diketahui dalam konteks ayat ini. Pada ayat sebelumnya diceritakan tentang adanya orang-orang yang memecah-belah agama yang dibawa para rasul menjadi banyak golongan. Lalu dalam ayat selanjutnya Rasulullah saw. diperintahkan untuk membiarkan mereka dalam kesesatan dan kebodohan.
Konteks yang sama juga boleh dilihat dalam ayat lainnya. Kata kullu hizb[in] juga dikekatkan dengan orang-orang yang memecah-belah agama menjadi beberapa golongan. Allah Swt. berfirman:
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama merekadan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (QS ar-Rum [30]: 32).
Artinya, celaan yang ditujukan kepada semua hizb itu disebabkan karena mereka membanggakan kesesatan agama mereka. Menurut az-Zamakhsyari dan al-Qasimi, frasa ini memberikan makna bahwa masing-masing kelompok yang berbeda-beda dan berpecah-belah dalam agama itu merasa senang dengan kebatilannya, tenteram jiwanya, dan yakin bahwa mereka di atas kebenaran.
Kedua: Seandainya semua hizb dilarang berdasarkan ayat ini, niscaya tidak ada satu pun hizb yang dipuji Allah Swt. Dalam kenyataannya, masih ada hizb yang dipuji. Hizb yang dimaksud adalah hizbullâh.Mereka dianggap sebagai kelompok yang mendapat kemenangan (ghâlibûn) (QS al-Maidah [5]: 56) dan beruntung (muflihûn) (QS al-Mujadilah [58]: 22).
Ketiga: adanya perintah kepada kaum Muslim untuk membentuk suatu ummah yang menjalankan tugas dakwah kepada Islam dan amar makruf nahi mungkar (QS. Ali Imran [3]: 104). Kata ummah bisa bermakna thâ’ifah, firqah, atau hizb. Orang-orang yang tergabung di dalamnya dinyatakan sebagai orang-orang yang beruntung. Perintah itu menunjukkan: tidak semuahizb tercela.

Jelaslah, yang menjadi masalah bukan hizb-nya, tetapi akidah apa yang diyakini dan diemban oleh hizb itu. Jika akidahnya kufur (sebagaimana ditunjukkan QS al-Mu’minun [23]: 52 dan QS ar-Rum [30]: 32 ini), maka hizb itu tercela dan dilarang. Sebaliknya, jika mereka berakidah Islam, mengemban dan mendakwahkan Islam, memperjuangkannya agar tegak di muka bumi, serta menjalankan amar makruf nahi munkar niscaya mereka akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan sebagaimana dijanjikan dalam QS Ali Imran [3]: 104:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung" Hizb yang seperti ini bukan hanya tidak terlarang, namun diwajibkan.
so memang benar mungkin kami baru di malaysia namun bukan baru di dunia.n keinginan kami adalah untuk memastikan islam n segala hukumnya terlaksana secara menyeluruh.adakah dengan penjelasan ana ini penubuhan atau datangya sebuah parti politik baru HIZBUT TAHRIR di MALAYSIA masih terlarang.???

N kalu kite lihat bagaimana pergerakan HTmereka tidak lain mendambakan islam 100%TANPA ADA KOMPROMI DENGAN KEKKUFURAN YANG JELAS.N TANPA ADA SEMANGAT ASSOBIYAH IAITU MEMPERTAHANKAN KELOMPOKATAU LAIN2 PERKARA YANG MENJADI PENGHALANG KEPADA SEBUAH KEBANGKITAN UMAT ISLAM.
KERANA TIADA LAIN MOTIF KEDATAGAN HT ADALAH MENYATUKAN UMAT ISLAM.DI MAANa aktivitinya tiada lain adalah aktiviti intelektual (a‘mâl fikriyyah) dan politik (a‘mâl siyâsiyyah). Aktiviti intelektual yang telah dilakukan oleh Hizbut Tahrir dalam konteks ini meliputi kajian atas fakta umat dan umat Islam, baik secara kajian terhadap nash-nash syariah (seperti al-Quran dan as-Sunnah)3maupun histori. Secara histori, Hizbut Tahrir juga telah melakukan kajian terperinci terhadap sejarah pembentukan umat Islam mulai di Makkah hingga berakhirnya era Khilafah Islam di Turki.4Secara fakta, Hizbut Tahrir juga telah mengkaji fakta umat Islam dengan berbagai problem yang dihadapinya saat ini.5

Dari sini, Hizbut Tahrir telah berhasil menyusun semula fakta umat Islam yang sudah berkeping-keping itu sehingga menjadi sebuah fakta yang utuh lagi kukuh, dan bisa diketahui unsur pembentuknya; ikatan yang menjadi pengikat; faktor yang memperkuat dan melemahkannya; serta bagaimana cara mengembalikannya seperti sediakala.
Secara faktual, umat Islam adalah kumpulan manusia—dengan ragam suku, bangsa dan tempat lahir yang berbeza—yang diikat oleh akidah Islam dan sistem yang lahir dari akidahnya.6Dua unsur, fizik (kumpulan manusia) dan non fizik (akidah Islam dan sistemnya) inilah yang membentuk umat Islam. Ikatan yang menjadi pengikat keberagaman unsur fiziknya tidak lain adalah akidah Islam dan sistem (syariah) yang dihasilkannya. Inilah yang disebut oleh Hizbut Tahrir sebagai ikatan ideologis (ar-râbithah al-mabda’iyyah).7Terbukti, inilah satu-satunya ikatan yang paling kuat. Karena akidah dan sistem Islam tersebut merupakan pemikiran, maka benar-salahnya dalam memahami pemikiran tersebut, lemah-kuatnya pemahaman tentang pemikiran, juga benar-salahnya dalam mengimplementasikan pemikiran, itulah yang menentukan kuat-lemahnya umat Islam.8

Beralih dari fakta di atas, Hizbut Tahrir berkesimpulan, bahwa umat Islam sekarang maupun dulu adalah umat yang sama, yaitu sama-sama umat Islam yang memeluk akidah yang sama. Akidah Islam yang dipeluk oleh umat Islam saat ini juga sama dengan akidah yang dipeluk oleh generasi terdahulu. Hanya saja, akidah Islam yang dipeluk oleh umat Islam saat ini banyak dikotori dengan debu sehingga harus dibersihkan. Selain itu, akidah umat Islam saat ini juga tidak connect dengan sistem yang dihasilkannya. Karenanya, meski mereka memeluk akidah Islam, sistem yang digunakan dalam kehidupan mereka bukan sistem yang built in dengan akidahnya, melainkan sistem lain yang justru bertentangan dengan akidahnya.9
Meski demikian, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap akidah umat Islam sekarang sebagai akidah yang sesat apalagi kufur. Hizbut Tahrir juga tidak pernah mengkafirkan umat Islam yang masih memeluk akidah Islam. Ini ditegaskan oleh Hizbut Tahrir dalam kitab Nidâ’ Harr ilâ al-Muslimîn min Hizb at-Tahrîr.10

Hanya saja, akidah umat Islam saat ini telah kehilangan tiga hal penting. Pertama:hubungannya dengan pemikiran tentang kehidupan dan sistem perundang-undangan. Kedua:gambaran tentang apa yang akan terjadi setelah kehidupan, yaitu kenikmatan surga dan pedihnya azab neraka. Ketiga: fungsinya sebagai pengikat kelompok umat Islam. Akibatnya, mereka tidak lagi diikat oleh akidah mereka, tetapi oleh darah dan nasab.11

Berangkat dari kesadaran dan tanggung jawab terhadap umat Islam, Hizbut Tahrir telah melakukan kajian yang mendalam tentang akidah Islam yang benar-benar jernih dan cemerlang; jauh dari ikhtilâf dan perdebatan kalam (mazhab). Semuanya diambil dari sumber-sumber yang qath‘îi; mulai dari bagaimana cara membangun keimanan (tharîq al-îmân) hingga pemurnian akidah dari berbagai debu yang mengotorinya, sebagaimana yang terdapat pada lima hal: Qadha’ dan Qadar (al-Qadhâ’ wa al-Qadar); Qadar (al-Qadar); Rezeki (ar-Rizq); Ajal dan Kematian (Intihâ’ al-Ajal wa Sabab al-Mawt); Tawakal (at-Tawakkul); serta Hidayah dan Kesesatan (al-Hidâyah wa ad-Dhalâlah).

Bukan hanya itu, Hizbut Tahrir juga telah melakukan kajian yang mendalam, jernih dan cemerlang tentang berbagai sistem yang mengatur kehidupan umat, mulai dari sistem pemerintahan (Nizhâm al-Hukm), ekonomi (an-Nizhâm al-Iqtishâdî), sosial (an-Nizhâm al-Ijtimâ‘i), pendidikan (Siyâsah at-Ta‘lîm), hingga politik luar negeri (as-Siyâsah al-Khârijiyyah). Semuanya itu dirumuskan sebagai sistem yang dihasilkan melalui proses istinbâth syar‘i sehingga antara akidah dan sistem yang dihasilkannya benar-benar connect kembali. Tidak hanya sampai di situ, Hizbut Tahrir juga telah merumuskan metodologi berpikirnya agar hasilnya benar-benar bisa dijamin sebagai pemikiran dan hukum Islam.13
Adapun aktivitas politik (a‘mâl siyâsiyyah) yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah aktivitas yang dilakukan untuk mengimplementasikan berbagai gagasan ideal di atas. Dalam booklet Dukhûl al-Mujtama‘, Hizbut Tahrir menegaskan bahwa sehebat apapun konsepsi intelektual, tetap tidak akan mempunyai pengaruh jika tidak ada orang atau kelompok yang mengembannya. Karena itu, aktivitas politik Hizbut Tahrir untuk merealisasikan gagasan idealnya tentang umat Islam di atas yang pertama dimulai dengan marhalah tatsqif. Setelah itu, Hizbut Tahrir melakukan interaksi dengan umat (tafâ‘ul ma‘a al-ummah), yang hendak diperbaiki dan disatukannya kembali.

Menyadari bahwa Hizbut Tahrir juga merupakan kelompok, maka dalam interaksinya dengan umat, Hizb tidak pernah mengajak umat pada Hizb, tetapi pada Islam yang diemban dan hendak direalisasikan oleh Hizb. Ini membawa dua pecahan. Pertama:siapapun yang mengemban dan merealisasikan gagasan ideal Islam yang disampaikan oleh Hizb tidak serta-merta menjadi bagian dari Hizb sebagai sebuah kelompok. Sebab, gagasan ideal Islam tersebut merupakan gagasan universal, yang bisa diemban oleh siapapun dan kelompok Islam manapun. Kedua: gagasan ideal Islam tersebut juga tidak merepresentasikan kepentingan Hizb, tetapi murni merupakan menifesto dari perintah dan larangan Islam.

Pandangan seperti ini bisa jadi lahir karena ketidakmengertian orang tersebut tentang gagasan ideal Islam, baik yang diemban Hizb maupun para ulama yang lain; biasa juga karena niat jahat—didalam sadar atau tidak—yang bertujuan untuk menghalangi persatuan umat. Menghadapi fenomena yang terakhir ini, Hizbut Tahrir tetap melihat, bahwa mereka bukanlah musuh, tetapi dijadikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai musuh. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir tidak akan kecoh. Sebab, musuh yang sesungguhnya bagi Hizbut Tahrir dan umat Islam adalah kekufuran dan kaum kafir penjajah yang terus-menerus berusaha melemahkan dan memecah-belah kesatuan dan persatuan mereka. Karena itu, Hizbut Tahrir tidak akan melayani provokasi yang hendak mengadu-domba dirinya dengan umat, yang justru akan kontradiksi dengan tujuannya untuk menyatukan umat.

Jika semua konsekuensi berikut eksesnya tersebut bisa dilampaui oleh Hizbut Tahrir, maka tujuan Hizbut Tahrir untuk menyatukan umat tinggal selangkah lagi, yaitu tegaknya Khilafah Islam yang menyatukan mereka. Dalam konteks yang terakhir ini pun Hizb tetap konsisten sebagai entiti pemikiran, yang akan tetap menempuh langkah-langkah intelektual dan politik. Hizb hanya menjelaskan dan mewacanakan gagasan negara ideal dengan sistemnya yang adil. Itulah gagasan Negara Khilafah. Sebagai entiti pemikiran, Hizb tidak pernah dan tidak akan melakukan tindakan fizikal. Yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah aktivitas pemikiran; menyampaikan gagasan ideanya kepada semua kalangan (baik orang awam, kaum terpelajar, intelektual, ulama maupun yang lain) dan menyakinkan gagasan ideal tersebut agar mereka ambil dan terapkan. Sebab, sebagai entiti pemikiran, Hizbut Tahrir tetap tidak boleh dan tidak akan pernah mempunyai sayap ketenteraan. Selain bertentangan dengan tharîqah Rasulullah saw., ini juga akan mengalihkan tujuan dan perhatian Hizb pada tugas utamanya sebagai entiti pemikiran. Selain itu, sejarah juga membuktikan hal yang sama.14

Karena itu, istilah istilâm al-hukm (penerimaan kekuasaan) dipilih dan digunakan oleh Hizb untuk menggambarkan fakta, bahwa ini bukanlah revolusi meragut nyawa, sebagaimana yang dituduhkan sebagian pihak kepada Hizb. Sebab, istilâm al-hukm adalah menerima kekuasaan yang diberikan oleh umat atau orang yang mempercapai Hizb dan membri nusrohnya kepada hizb; , istilâm al-hukm tersebut tidak selalu dari umat kepada Hizb, bisa juga diserahkan kepada kelompok atau tokoh lain. Semuanya tentu kembali kepada umat itu sendiri sebagai pemilik kekuasaan (shahib al-sulthan). Justru di sinilah proses itu harus terus-menerus dilakukan kepada umat, agar kekuasaan itu diberikan kepada orang atau kelompok yang memang layak untuk mendapatkannya. Dengan begitu, gagasan dan cita-cita ideal Islam tersebut benar-benar bisa diwujudkan, dan umat Islam pun kembali bersatu dalam sebuah negara yang penuh berkah dan ampunan, Khilafah Rasyidah ‘alâ minhaj an-Nubuwwah yang kedua.

PERSOALAN TERAKHHIR ADALAH PILIHANRAYA.

ya, memang terdapat pilihan raya di dalam Islam, walaupun konteks atau cara(uslub)nya agak berbeza dengan yang ada sekarang. Pemilihan suara ramai memang ada dalam Islam. Secara rincinya pemilihan suara ramai (yang sekarang disebut pilihan raya) ini boleh berlaku dalam dua keadaan utama. Pertama, dalam urusan memilih Khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat Islam. Kedua, dalam urusan memilih Majlis Syura (Majlis Umat). Namun, perlu difahami di sini bahawa pemilihan Khalifah tidak semestinya dilakukan melalui pemilihan suara ramai, tetapi pemilihan Majlis Umat mesti melalui suara ramai.

Hal ini diambil dari peristiwa pengangkatan para Khulafa’ Rasyidin yang menjadi Ijmak Sahabat yang wajib kita ikuti. Semasa pelantikan Abu Bakar, sebahagian besar kaum Muslimin berkumpul di Saqifah Bani Saidah dan terjadi perbincangan di antara mereka. Hasilnya Abu Bakar telah dibai’ah (bai’at in’iqad) menjadi Khalifah. Kemudian pada hari kedua, kaum Muslimin di undang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membai’at Abu Bakar di sana (bai’at ta’at). Ketika Abu Bakar merasa sakitnya akan membawa kepada kematian, beliau telah memanggil kaum Muslimin untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi Khalifah setelah beliau. Proses pengumpulan pendapat itu berlangsung selama tiga bulan dan akhirnya Abu Bakar mengetahui pendapat majoriti dari kaum Muslimin, lalu beliau menunjuk (mencalonkan) Umar sebagai Khalifah penggantinya. Perlu difahami di sini bahawa penunjukan (pencalonan) Umar bukanlah merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah, kerana ternyata setelah Abu Bakar meninggal, kaum Muslimin datang ke Masjid dan membai’at Umar sebagai Khalifah yang baru. Ertinya, dengan bai’at inilah Umar sah menjadi Khalifah, bukannya dengan pengumpulan pendapat majoriti mahupun dengan pencalonan oleh Abu Bakar. Seandainya pencalonan oleh Abu Bakar merupakan akad kekhilafahan kepada Umar, nescaya tidak lagi diperlukan bai’at dari kaum Muslimin. Tambahan lagi, terdapat nas yang begitu banyak dan jelas dari Rasulullah bahawa sahnya kepimpinan tertinggi umat Islam itu adalah dengan bai’at.

Ketika Umar sakit, beliau telah menunjukkan enam orang sebagai calon Khalifah. Setelah Umar meninggal dan kemudian para calon berkumpul, Abdul Rahman bin Auf mengundurkan diri dan beliau diberi mandat (oleh yang lain) untuk menguruskan pelantikan Khalifah. Lalu beliau mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Beliau menanyai mereka seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masing, siapakah di antara mereka yang lebih berhak. Akhirnya jawapannya terbatas pada dua orang iaitu Ali dan Utsman. Abdul Rahman lalu mulai bergerak bertanya pendapat kaum Muslimin keseluruhannya siapakah di antara dua calon tersebut yang mereka kehendaki. Beliau bertanya baik lelaki mahupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdul Rahman diriwayatkan tidak tidur kerana keluar mengambil pendapat kaum Muslimin. Imam Bukhari meriwayatkan dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata, “Abdul Rahman mengetuk pintu hingga aku terbangun. Dia berkata, ‘Aku melihat engkau tidur. Demi Allah, janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini (yakni tiga malam) dengan banyak tidur”. Ketika kaum Muslimin melaksanakan solat subuh pada hari yang ketiga tersebut, pembai’atan Utsman selesai dilakukan. Setelah Utsman terbunuh, majoriti kaum Muslimin di Madinah dan Kufah membai’at Ali bin Abi Thalib. Jadi, dengan bai’at ini, Ali sah menjadi Khalifah bagi kaum Muslimin.

Seperkara yang perlu diperhatikan di sini adalah, hanya jawatan Khalifah sahaja yang boleh dibuat melalui pungutan suara ramai. Sedangkan bagi jawatan lain seperti Mu’awin, Wali, Amil, Masalih ad-Daulah, Amirul Jihad, Qadhi dan lain-lain, mereka ini bukan dipilih melalui pilihan raya atau suara ramai, tetapi dilantik oleh Khalifah secara langsung. Hal ini berdasarkan nas yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah dan Khulafa’ Rasyidin dalam pelantikan jawatan-jawatan tersebut di dalam pemerintahan mereka. Seperkara lagi yang mesti diperhatikan betul-betul adalah perbezaan di antara bai’at dan pemilihan suara ramai. Pemilihan suara ramai (atau pilihan raya) bukanlah bai’at atau proses bai’at itu sendiri. Pilihan raya hanyalah proses memilih wakil (akad wakalah, bukan akad bai’at) sedangkan bai’at adalah satu akad yang wajib dilakukan oleh kaum Muslimin terhadap Khalifah yang telah terpilih. Nas-nas tentang bai’ah juga berbeza dengan nas-nas tentang bolehnya pilihan raya, di mana terdapat dua jenis akad bai’ah di dalam Islam dan seseorang Khalifah itu dibai’ah untuk ‘menerapkan’ hukum Allah, bukan untuk ‘menggubal’ hukum (undang-undang). Dan sebagaimana yang telah disebutkan, bai’ah itu hanya diberikan kepada (seorang) Khalifah sahaja, bukan kepada yang lain, tidak sama langsung hakikatnya dengan pilihan raya.

Satu lagi bentuk pilihan raya yang dibenarkan Islam adalah untuk memilih Majlis Syura (Majlis Umat). Majlis Umat adalah majlis yang dianggotai oleh para individu yang mewakili kaum Muslimin dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta nasihat/input mereka dalam pelbagai urusan. Majlis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhasabah terhadap Khalifah dan semua pegawai negara. Anggota majlis ini dipilih oleh umat melalui pilihan raya dan bukan melalui pelantikan (oleh pemerintah). Hal ini kerana mereka merupakan ‘wakil umat’ dalam mengemukakan pendapat (bukan membuat undang-undang) atau memuhasabah pemimpin. Untuk mengetahui wakil dalam wilayah yang begitu luas manakala mereka tidak dikenal, maka hal ini tidak akan terlaksana kecuali bagi orang-orang yang dipilih untuk menjadi wakil mereka. Tujuan yang menjadi alasan keberadaan Majlis Syura itu adalah mewakili masyarakat secara representatif. Kerana itu, asas kepada pemilihan anggota majlis ini adalah mesti mewakili masyarakat secara representatif (tamtsil li an-nas), sebagaimana keadaan yang menjadi dasar bagi Rasulullah dalam memilih nuqaba’ (orang yang bertanggungjawab). Dasar kedua adalah mewakili kelompok secara representatif seperti halnya perbuatan Rasulullah dalam memilih wakil dari kaum Muhajirin dan Ansar. Agar orang-orang yang tidak dikenal dapat mewakili individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat secara representatif, maka hal ini tentunya hanya boleh dilakukan melalui pilihan raya. Semasa peristiwa Bai’ah Aqabah II, kerana kaum Muslimin yang berbai’at itu belum dikenal oleh Rasulullah, lalu urusan pemilihan itu baginda serahkan kepada mereka sepenuhnya, dengan sabda baginda, “Keluarkan (pilihlah) kepadaku 12 orang naqib dari kalangan kalian yang bertanggungjawab atas kaum mereka” [Sirah Ibn Hisyam].

Yang perlu difahami dan diperhatikan betul-betul di sini adalah fungsi Majlis Umat iaitu (i) sebagai majlis syura dan (ii) sebagai majlis muhasabah. Adapun yang dimaksudkan dengan syura (musyawarah) adalah berbincang (sebelum keputusan diambil) untuk meminta dan memberi pendapat (termasuklah dalam urusan melantik Khalifah), dan ia hanya terbatas kepada perkara-perkara yang bersifat mubah dan tidak bertentangan dengan syara’ sahaja. Muhasabah pula adalah melakukan peneguran (menegur kesalahan/kelalaian) Khalifah dan kakitangan negara yang lain, setelah keputusan diambil atau setelah sesuatu polisi diterapkan. Satu lagi perkara penting yang perlu diberi perhatian adalah Majlis Syura ini bukannya majlis tasyri’ (majlis untuk menggubal undang-undang), fungsinya hanya terbatas kepada dua perkara yang disebutkan di atas sahaja. Majlis Syura berbeza sama sekali dengan realiti Parlimen atau Dewan Undangan Negeri (DUN) dalam sistem demokrasi yang mana fungsi utama Parlimen atau DUN adalah untuk membuat undang-undang.

Bertolak dari sini, kita mestilah memahami dan membezakan realiti intikhab (pemilihan) di masa Rasulullah dengan realiti intikhab dalam sistem demokrasi yang ada sekarang. Untuk mengetahui hukum syara’ mengenai kedudukan pilihan raya sekarang, kita perlulah mengkaji terlebih dahulu realitinya (tahqiq al-manath). Yang pertama sekali, kita mestilah menjernihkan dahulu perbezaan di antara ‘pilihan raya’ dan ‘demokrasi’ itu sendiri. Pilihan raya tidak sama dengan demokrasi dan demokrasi tidak sama dengan pilihan raya. Pilihan raya hanyalah salah satu aspek/uslub dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil (bukan memilih pemimpin). Manakala demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan di mana hak membuat undang-undang berada di tangan manusia. Hukum pilihan raya adalah berbeza dengan hukum demokrasi. Hukum demokrasi jelas haram dalam Islam berdasarkan nas-nas yang qath’i.
Seperkara lagi yang perlu difahami dan dibezakan adalah ‘suara majoriti’. Suara majoriti tidak sama dengan demokrasi dan tidak sama dengan pilihan raya. Suara majoriti tidak salah untuk diambil dalam membuat sesuatu keputusan yang bersifat mubah (harus), contohnya majoriti bersetuju melantik A (berbanding B) sebagai pemimpin atau majoriti bersetuju untuk pergi ke suatu tempat dengan menaiki bas (berbanding kereta). Namun suara majoriti akan menjadi haram apabila yang disepakati adalah bertentangan dengan hukum syarak. Contohnya majoriti bersetuju untuk menghukum penzina dengan 6 kali sebatan, atau majoriti bersetuju seorang pencuri dihukum penjara, atau majoriti bersetuju untuk menghalalkan sistem perbankan riba. Dalam aspek menggubal undang-undang, suara majoriti juga menjadi haram walaupun yang dipersetujui (secara majoriti) adalah suatu yang bertepatan dengan hukum syarak. Contohnya majoriti bersetuju untuk menggubal undang-undang bahawa solat itu wajib atau puasa itu wajib atau riba itu haram atau hukum mencuri adalah potong tangan. Ini kerana kewajipan solat dan puasa dan keharaman riba serta potong tangan bagi pencuri adalah datangnya dari Allah sebagai Zat Pembuat undang-undang. Jadi, tidak kira sama ada majoriti bersetuju atau tidak, solat tetap wajib dan riba tetap haram dan pencuri wajib dipotong tangan. Hukum Allah bukan untuk disetujui, diundi atau diluluskan oleh manusia. Hukum Allah merupakan hukum syara’ yang wajib dilaksanakan oleh manusia, tidak kira manusia bersetuju atau tidak. Manusia tidak ada sebesar zarah pun hak untuk mencadangkan, apatah lagi menggubal dan mengundi hukum Allah untuk diluluskan secara majoriti.

Menurut Perkara 66 Perlembagaan Persekutuan, Parlimen berfungsi sebagai badan perundangan (menggubal, meminda dan menghapuskan undang-undang). Manakala pilihan raya yang dijalankan dalam sistem demokrasi hakikatnya adalah merupakan pemilihan wakil untuk ke Parlimen/DUN bagi merealisasikan fungsi ini. Dengan kata lain ia adalah pemilihan ahli-ahli majlis tasyri’ yakni majlis yang akan membuat, meminda dan menghapuskan undang-undang. Jadi, majlis perwakilan (wakil Parlimen atau wakil DUN), fungsi utama mereka (apabila menang) adalah berada dalam majlis tasyri’ ini untuk menggubal undang-undang, meminda dan menghapuskannya dan kesemua ini boleh dan ‘wajib’ dilakukan dengan suara majoriti. Inilah hakikat Parlimen sama ada dari segi undang-undang mahupun amalan. Oleh yang demikian, setelah jelas akan tahqiq al-manathnya, maka barulah hukum syara’ bagi pilihan raya dalam sistem demokrasi ini dapat digali dan diselesaikan. Pilihan raya sekarang hakikatnya merupakan suatu bentuk perwakilan (wakalah) di mana masyarakat memilih wakil mereka untuk ke Parlimen/DUN. Untuk sesuatu akad wakalah sah di sisi syara’, ia mestilah ada (i) ijab dan kabul (ii) pihak yang diwakili (muwakkil) (iii) pihak yang menjadi wakil (wakil) (iv) urusan yang diwakilkan dan (v) bentuk (sighah) perwakilan tersebut.

Adapun mengenai penggubalan undang-undang, ia merupakan aktiviti yang tidak dibolehkan (haram) bagi seorang Muslim untuk melakukannya, tidak kira sama ada dia terlibat secara langsung dalam penggubalan ataupun terlibat dalam pengundian, meskipun undang-undang yang digubal itu ‘selari’ dengan hukum Islam yang mulia (sebagaimana dijelaskan di atas). Ini adalah kerana, ketika hukum Islam diambil untuk diterapkan, ia wajib diambil dari Al-Quran dan Sunah berdasarkan ‘aqidah Islam’, bukan diambil, dibahas dan diterapkan berdasarkan ‘undi majoriti’. Seseorang Muslim tidak dibolehkan membuat undang-undang, sebaliknya kewajiban mereka hanyalah untuk menerima dan menerapkan syariat Allah sahaja dan itu sahaja, tidak kira sama ada ia dipersetujui secara majoriti atau tidak oleh manusia. Oleh itu, hak untuk membuat undang-undang (hukum) hanyalah terletak pada Allah semata-mata. Tidak ada sesiapapun yang berhak meletakkan dirinya setara dengan Allah ‘Azza wa Jalla dalam membuat undang-undang. Allah berfirman, “…hanya Allah jualah yang (berhak) menetapkan hukum…..” [TMQ al-An’am (6):57]. Oleh kerana hak membuat hukum (undang-undang) itu tidak ada pada manusia, maka manusia mana pun sama sekali tidak boleh (haram) ‘mewakilkan’ perkara ini kepada mana-mana orang, dalam apa-apa keadaan sekalipun. Manusia hanya diizinkan Allah untuk mewakilkan ‘perkara’ yang ia mempunyai hak ke atasnya sahaja. Dan membuat undang-undang bukanlah hak manusia. Ia hanyalah hak mutlak Allah swt semata-mata.

Oleh itu, dengan mengetahui bahawa calon yang dipilih itu akan pergi (diwakilkan) ke Parlimen/DUN untuk membuat undang-undang yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka berdasarkan kaedah syara’, al-wasilatu ila haram, haram (apa-apa jalan yang menuju kepada haram hukumnya juga haram), ini bermaksud mengundi/mewakilkan calon tersebut adalah haram. Adapun dalam memberikan kepercayaan kepada pemerintahan sekular yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, memilih pemimpin negara serta mengesahkan pelbagai undang-undang, perjanjian dan juga cukai, seorang Muslim tidak dibolehkan terlibat dengannya. Seorang Muslim tidak boleh mewakilkan atau meletakkan kepercayaan kepada pemerintah yang memerintah dengan selain dari hukum Allah. Menerapkan hukum selain dari apa yang diturunkan Allah merupakan satu bentuk kekufuran, kezaliman dan kefasikan [TMQ al-Ma’idah (5):44, 45, 47]. Allah swt berfirman, “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang berlaku zalim maka (kalau kamu berlaku demikian), api neraka akan membakar kamu, sedang kamu tidak ada sebarang penolong pun yang lain dari Allah. Kemudian (dengan sebab kecenderungan kamu itu) kamu tidak akan mendapat pertolongan” [TMQ Hud (11):113].

NAH ANA HARAP PENJELASAN ANA DAPAT MENJERNIHKAN SUASANA YANG KELIRU.SEKALI LAGI ANA INGATKAN ANA MASIH BUKAN LAGI SEORANG AHLI HIZBUT TAHRIR ATAU HT ATAU HIZB.ANA HANYALAH SEORANG YANG MENCINTAI ISLAM N INGINKAN ISLAM KEMBALI 100%.ANA HANYALAH SEORANG PELAJAR DI SEBUAH INSTITUSI ATAU BADAN YANG TUJUAN PERJUANGANNYA ADALAH ISTI'NAF HAYAH AL ISLAMIYAH.N ANA HANYALAH PENYOKONG parti pembebasan.
KERANA ANA YAKIN HT TIDAK AKAN MENJAWAB TUDUHAN FITNAH KE ATASNYA.KERANA TUDUHAN KE ATASYNYA ADALAH BERSAMAAN DENGAN TUDUHAN KE ATAS ISLAM 100% KERANA HT MEMBAWA IMEJ ISLAM.HT HANYALAH SEBUAH NAMA ATAU PLATFORMUNTUK MEMUDAHKAN KERJANYA N JALAN DAKWAH AHLI MEREKA.ISLAMLAH YANG PERLU KITE LIHAT DARINYA.N SEGALA SUMBER BERKENAAN DENGANNYA KITE BOLEH DAPATI DARIBUKU2NYA YANG KINI MUDAH DIDAPATI.

ADAPUN mes ini bukanlah bertujuan untuk anta memasuki ht selepas ini.mes ini adalah untuk anta pahami apa yang dibawa ht.
n last ana meminta maaf sekiranya ada kesilapan tulisann kekurang fahaman dengan penjelasan.atau sekiranya terdapat penjelasan ana menyakiti n mengasari pihak anta.
TERUSKAN PERJUANGAN DEMI ISLAM YANG TERCINTA.

No comments:

PERJUANGAN ITU